LMS secara umum memiliki fitur-fitur standard pembelajaran elektronik antara lain:
- Fitur Kelengkapan Belajar Mengajar: Daftar Mata Kuliah dan Kategorinya, Silabus Mata Kuliah, Materi Kuliah (Berbasis Text atau Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan Bacaan
- Fitur Diskusi dan Komunikasi: Forum Diskusi atau Mailing List, Instant Messenger untuk Komunikasi Realtime, Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak Instruktur, File and Directory Sharing
- Fitur Ujian dan Penugasan: Ujian Online (Exam), Tugas Mandiri (Assignment), Rapor dan Penilaian
Ok lha terus LMS ini dapatnya dari mana? Instalasinya seperti apa? Dan apakah gratis atau berbayar?
Sabar
Seperti juga aplikasi lainnya, LMS ada yang bersifat proprietary
software dan ada yang open source. Yang proprietary diantaranya adalah
seperti di bawah. Meskipun saya yakin teman-teman sekalian nggak nafsu
untuk gunakan - Saba Software (http://www.saba.com)
- Apex Learning (http://www.apexlearning.com)
- Blackboard (http://www.blackboard.com)
- IntraLearn (http://intralearn.com)
- SAP Enterprise Learning (http://www.sap.com/solutions/business-suite/erp/hcm/learningsolution/index.epx)
Sedangkan LMS yang open source diantaranya adalah:
- ATutor (http://www.atutor.ca)
- Dokeos (http://www.dokeos.com)
- dotLRN (http://dotlrn.org)
- Freestyle Learning (http://www.freestyle-learning.de)
- ILIAS (http://www.ilias.uni-koeln.de)
- LON-CAPA (http://www.lon-capa.org)
- Moodle (http://moodle.org)
- OpenACS (http://openacs.org)
- OpenUSS (http://openuss.sourceforge.net/openuss)
- Sakai (http://www.sakaiproject.org)
- Spaghetti Learning (http://www.spaghettilearning.com/)
Ok banyak banget daftar aplikasi LMS-nya
Harus pilih yang mana nih? Pada hakekatnya pemilihan LMS disesuaikan
dengan kebutuhan dan business process yang ada di sekolah dan
universitas masing-masing. Yang fiturnya terlalu sederhana mungkin
nggak pas untuk sekolah dan universitas yang ingin menerapkan
e-Learning secara penuh. Di lain pihak LMS yang kompleks dan fiturnya
banyak belum tentu sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Beberapa
sekolah dan universitas bahkan ada yang tercukupi hanya dengan
menggunakan CMS blog semacam wordpress Sekali lagi jangan mengejar teknologi, kejarlah solusi untuk memecahkan masalah yang ada.
Menarik mempelajari hasil penelitian dari Sabine Graf dan Beate List [Graf, 2005] yang dibiayai oleh European Social Fund (ESF) tentang evaluasi dan komparasi LMS berbasis open source. Graf menggunakan satu metode evaluasi produk software bernama QWS (Qualitative Weight and Sum).
QWS menghitung bobot (weight) menggunakan enam simbol kualitatif
berdasarkan tingkat kepentingannya (importance level). Simbol-simbol
kalau diurutkan dari yang paling penting: E (Essential), * (Extremely Valuable), # (Very Valuable), + (Valuable), | (Marginally Valuable), 0 (Not Valuable).
QWS memungkinkan kita menetapkan maximum value sendiri, jadi tidak
harus “E (Essential)” yang paling tinggi, bisa juga “# (Very Valuable)”
misalnya. Sistem pengukuran kualitas software seperti Graf ini adalah
berdasarkan “Product” dan bukan “Process“. Oh ya, saya juga pernah membahas masalah pengukuran kualitas software secara lengkap di artikel berjudul “Teknik Pengukuran Kualitas Perangkat Lunak“
Bagian apa saja yang dievaluasi oleh Graf? Ada 8 kategori yang dievaluasi yaitu: Communication
Tools, Learning Objects, Management of User Data, Usability,
Adaptation, Tehnical Aspect, Administration dan Course Management.
Masing-masing kategori memiliki subkategori, misalnya di Communication
Tools akan dilihat fitur Forum, Char, Mail/Message, Announcements,
Conferences, Collaboration, dan Synchronous/Asynchronous Tools.
Subkategori lain bisa dilihat dari gambar di bawah.
Ok bagaimana hasilnya? Lengkapnya di gambar dibawah
(klik untuk memperbesar). Secara umum Moodle boleh dikatakan merajai
kompetisi ini, unggul terutama di kategori Communication Tools,
Learning Objects, Management of User Data, Usability, dan Adaptation.
ILIAS dan Dokeos di urutan kedua dan ketiga, sedangkan urutan keempat
adalah Atutor, LON-CAPA, Spaghettilearning dan Open USS. Sakai dan
dotLRN ada di posisi terakhir.
Harus diakui bahwa Moodle termasuk yang terbaik
secara kelengkapan fitur dibandingkan dengan software LMS lain.
Tercatat lebih dari tiga puluh ribu institusi pendidikan menggunakan
Moodle sebagai engine dasar LMS mereka. Termasuk sebagian besar Sekolah
dan Universitas di Indonesia menggunakan Moodle. Salah satu yang
menarik di Moodle adalah proses customization yang relatif tidak
merepotkan, bahkan meskipun kita tidak memahami skill pemrograman
dengan baik. Template dan theme yang disediakan Moodle juga banyak, dan
mendukung 40 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Fitur “Lesson” Moodle
juga menarik dan tidak ada di LMS lain. Fitur “Lesson” ini memungkinkan
mengarahkan siswa dan peserta e-Learning diarahkan secara otomatis ke
halaman lain sesuai dengan jawaban dari pertanyaan di suatu halaman.
Salah satu kendala Moodle adalah penuhnya fitur yang diembed ke Moodle
membuat time executionnya jadi tinggi, alias sangat berat dijalankan Kendala kecil lainnya misalnya error blank screen pada saat instalasi seperti yang pernah saya tulis di artikel ini.
Untuk keperluan e-Learning yang high traffic dan
tidak memerlukan fitur e-Learning yang kompleks, saya merekomendasikan
LMS lain seperti ILIAS, Dokeos atau Atutor. Saya menggunakan Atutor
untuk e-Learning Braintutor
dan terbukti handal mengelola puluhan ribu user dengan tingkat akses
yang sangat tinggi. Atutor juga menarik diterapkan ke e-Learning
perusahaan yang lebih mementingkan efisiensi pengaksesan LMS,
user-friendly dan pemahaman terhadap bahan ajar daripada fitur chat,
forum, tracking pengguna, dsb. Atutor jg termasuk pioneer dalam
mengadopsi berbagai standard e-Learning. Disamping mengadopsi standard
W3C WCAG, secara pemaketan konten juga memenuhi standard IMS/SCORM
Content Packaging Specifications. Sebagai informasi, saat ini Moodle
juga sudah mengadopsi standard SCORM di enginenya.
Bagaimanapun juga pilihan akhir ada di kita,
pertimbangkan kebutuhan dan kultur sekolah dan universitas kita,
sebelum memutuskan LMS mana yang mau dipakai. Ujicoba dengan berbagai
LMS menarik dilakukan untuk melihat mana yang menurut kita pas. Tidak
semua e-Learning yang saya implementasikan untuk berbagai sekolah,
universitas dan perusahaan menggunakan engine Moodle, tapi kadang juga
Atutor, ILIAS, Dokeos dan bahkan dotLRN.
STANDARISASI LMS
Dengan semakin banyaknya vendor mengembangkan LMS
beserta kontennya, timbul suatu kebutuhan untuk menyusun standard
sehingga meningkatkan interoperabilitas dan kerjasama antar vendor.
Perjalanan pembuatan standard dalam eLearning sebenarnya sudah dimulai
sejak era tahun 1988, dan mulai terimplementasikan dengan baik di era
tahun 2000 keatas. Beberapa organisasi dan konsorsium yang mengeluarkan
standard dalam dunia eLearning adalah:
- Advanced Distributed Learning (ADL) (http://adlnet.org)
- Aviation Industry CBT Committee (AICC) (http://aicc.org)
- IEEE Learning Technology Standards Committee (IEEE LTSC) (http://ltsc.ieee.org)
- IMS Global Consortium (IMS) (http://imsproject.org)
Salah satu standard yang diterima banyak pihak
adalah yang dikeluarkan ADL, yaitu Shareable Content Object Reference
Model (SCORM). Spesifikasi SCORM mengkombinasikan elemen-elemen dari
spesifikasi standard yang dikeluarkan oleh IEEE, AICC dan IMS. SCORM
memungkinkan pengembang dan penyedia konten eLearning lebih konsisten
dan mudah dalam implementasi karena sifat SCORM yang reusable. Standard
SCORM berkembang dari versi SCORM 1.0, SCORM 1.1, SCORM 1.2, SCORM
2004. Saat ini sudah banyak Learning Management System (LMS) yang
mendukung SCORM, termasuk didalamnya adalah aTutor dan Moodle untuk
yang opensource, dan intraLearn untuk produk komersial. Dengan SCORM
memungkinkan kita melakukan import dan export konten (bahan ajar) yang
sudah kita buat di sebuah LMS ke LMS lain dengan mudah.
0 komentar:
Posting Komentar