Jumat, 16 Maret 2012

Memilih sistem Elearning bebas open sourch

Setelah berpusing-pusing ria dengan definisi dan terminologi e-Learning, kali ini kita akan membahas komponen e-Learning terutama berhubungan dengan pengembangan sistem Learning Management System (LMS). Sering disebut LMS ini disebut dengan dengan platform e-Learning atau Learning Content Management System (LCMS). Intinya LMS adalah aplikasi yang mengotomasi dan mem-virtualisasi proses belajar mengajar secara elektronik. Memilih LMS jujur saja gampang-gampang susah, karena banyak faktor yang harus kita perhatikan. Kita bahas yuk gimana teknik memilih LMS yang baik, tentunya yang berbasis open source :)
LMS secara umum memiliki fitur-fitur standard pembelajaran elektronik antara lain:
  1. Fitur Kelengkapan Belajar Mengajar: Daftar Mata Kuliah dan Kategorinya, Silabus Mata Kuliah, Materi Kuliah (Berbasis Text atau Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan Bacaan
  2. Fitur Diskusi dan Komunikasi: Forum Diskusi atau Mailing List, Instant Messenger untuk Komunikasi Realtime, Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak Instruktur, File and Directory Sharing
  3. Fitur Ujian dan Penugasan: Ujian Online (Exam), Tugas Mandiri (Assignment), Rapor dan Penilaian
LMS PROPRIETARY DAN OPEN SOURCE
Ok lha terus LMS ini dapatnya dari mana? Instalasinya seperti apa? Dan apakah gratis atau berbayar?
Sabar ;) Seperti juga aplikasi lainnya, LMS ada yang bersifat proprietary software dan ada yang open source. Yang proprietary diantaranya adalah seperti di bawah. Meskipun saya yakin teman-teman sekalian nggak nafsu untuk gunakan :)
Sedangkan LMS yang open source diantaranya adalah:
PILIH LMS YANG MANA?
Ok banyak banget daftar aplikasi LMS-nya ;) Harus pilih yang mana nih? Pada hakekatnya pemilihan LMS disesuaikan dengan kebutuhan dan business process yang ada di sekolah dan universitas masing-masing. Yang fiturnya terlalu sederhana mungkin nggak pas untuk sekolah dan universitas yang ingin menerapkan e-Learning secara penuh. Di lain pihak LMS yang kompleks dan fiturnya banyak belum tentu sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Beberapa sekolah dan universitas bahkan ada yang tercukupi hanya dengan menggunakan CMS blog semacam wordpress ;) Sekali lagi jangan mengejar teknologi, kejarlah solusi untuk memecahkan masalah yang ada.
Menarik mempelajari hasil penelitian dari Sabine Graf dan Beate List [Graf, 2005] yang dibiayai oleh European Social Fund (ESF) tentang evaluasi dan komparasi LMS berbasis open source. Graf menggunakan satu metode evaluasi produk software bernama QWS (Qualitative Weight and Sum). QWS menghitung bobot (weight) menggunakan enam simbol kualitatif berdasarkan tingkat kepentingannya (importance level). Simbol-simbol kalau diurutkan dari yang paling penting: E (Essential), * (Extremely Valuable), # (Very Valuable), + (Valuable), | (Marginally Valuable), 0 (Not Valuable). QWS memungkinkan kita menetapkan maximum value sendiri, jadi tidak harus “E (Essential)” yang paling tinggi, bisa juga “# (Very Valuable)” misalnya. Sistem pengukuran kualitas software seperti Graf ini adalah berdasarkan “Product” dan bukan “Process“. Oh ya, saya juga pernah membahas masalah pengukuran kualitas software secara lengkap di artikel berjudul “Teknik Pengukuran Kualitas Perangkat Lunak“ 
Bagian apa saja yang dievaluasi oleh Graf? Ada 8 kategori yang dievaluasi yaitu: Communication Tools, Learning Objects, Management of User Data, Usability, Adaptation, Tehnical Aspect, Administration dan Course Management. Masing-masing kategori memiliki subkategori, misalnya di Communication Tools akan dilihat fitur Forum, Char, Mail/Message, Announcements, Conferences, Collaboration, dan Synchronous/Asynchronous Tools. Subkategori lain bisa dilihat dari gambar di bawah.
Ok bagaimana hasilnya? Lengkapnya di gambar dibawah (klik untuk memperbesar). Secara umum Moodle boleh dikatakan merajai kompetisi ini, unggul terutama di kategori Communication Tools, Learning Objects, Management of User Data, Usability, dan Adaptation. ILIAS dan Dokeos di urutan kedua dan ketiga, sedangkan urutan keempat adalah Atutor, LON-CAPA, Spaghettilearning dan Open USS. Sakai dan dotLRN ada di posisi terakhir.
Harus diakui bahwa Moodle termasuk yang terbaik secara kelengkapan fitur dibandingkan dengan software LMS lain. Tercatat lebih dari tiga puluh ribu institusi pendidikan menggunakan Moodle sebagai engine dasar LMS mereka. Termasuk sebagian besar Sekolah dan Universitas di Indonesia menggunakan Moodle. Salah satu yang menarik di Moodle adalah proses customization yang relatif tidak merepotkan, bahkan meskipun kita tidak memahami skill pemrograman dengan baik. Template dan theme yang disediakan Moodle juga banyak, dan mendukung 40 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Fitur “Lesson” Moodle juga menarik dan tidak ada di LMS lain. Fitur “Lesson” ini memungkinkan mengarahkan siswa dan peserta e-Learning diarahkan secara otomatis ke halaman lain sesuai dengan jawaban dari pertanyaan di suatu halaman. Salah satu kendala Moodle adalah penuhnya fitur yang diembed ke Moodle membuat time executionnya jadi tinggi, alias sangat berat dijalankan :) Kendala kecil lainnya misalnya error blank screen pada saat instalasi seperti yang pernah saya tulis di artikel ini.
Untuk keperluan e-Learning yang high traffic dan tidak memerlukan fitur e-Learning yang kompleks, saya merekomendasikan LMS lain seperti ILIAS, Dokeos atau Atutor. Saya menggunakan Atutor untuk e-Learning Braintutor dan terbukti handal mengelola puluhan ribu user dengan tingkat akses yang sangat tinggi. Atutor juga menarik diterapkan ke e-Learning perusahaan yang lebih mementingkan efisiensi pengaksesan LMS, user-friendly dan pemahaman terhadap bahan ajar daripada fitur chat, forum, tracking pengguna, dsb. Atutor jg termasuk pioneer dalam mengadopsi berbagai standard e-Learning. Disamping mengadopsi standard W3C WCAG, secara pemaketan konten juga memenuhi standard IMS/SCORM Content Packaging Specifications. Sebagai informasi, saat ini Moodle juga sudah mengadopsi standard SCORM di enginenya.
Bagaimanapun juga pilihan akhir ada di kita, pertimbangkan kebutuhan dan kultur sekolah dan universitas kita, sebelum memutuskan LMS mana yang mau dipakai. Ujicoba dengan berbagai LMS menarik dilakukan untuk melihat mana yang menurut kita pas. Tidak semua e-Learning yang saya implementasikan untuk berbagai sekolah, universitas dan perusahaan menggunakan engine Moodle, tapi kadang juga Atutor, ILIAS, Dokeos dan bahkan dotLRN.
STANDARISASI LMS

Dengan semakin banyaknya vendor mengembangkan LMS beserta kontennya, timbul suatu kebutuhan untuk menyusun standard sehingga meningkatkan interoperabilitas dan kerjasama antar vendor. Perjalanan pembuatan standard dalam eLearning sebenarnya sudah dimulai sejak era tahun 1988, dan mulai terimplementasikan dengan baik di era tahun 2000 keatas. Beberapa organisasi dan konsorsium yang mengeluarkan standard dalam dunia eLearning adalah:
Salah satu standard yang diterima banyak pihak adalah yang dikeluarkan ADL, yaitu Shareable Content Object Reference Model (SCORM). Spesifikasi SCORM mengkombinasikan elemen-elemen dari spesifikasi standard yang dikeluarkan oleh IEEE, AICC dan IMS. SCORM memungkinkan pengembang dan penyedia konten eLearning lebih konsisten dan mudah dalam implementasi karena sifat SCORM yang reusable. Standard SCORM berkembang dari versi SCORM 1.0, SCORM 1.1, SCORM 1.2, SCORM 2004. Saat ini sudah banyak Learning Management System (LMS) yang mendukung SCORM, termasuk didalamnya adalah aTutor dan Moodle untuk yang opensource, dan intraLearn untuk produk komersial. Dengan SCORM memungkinkan kita melakukan import dan export konten (bahan ajar) yang sudah kita buat di sebuah LMS ke LMS lain dengan mudah.

0 komentar:

Posting Komentar